Nisan di Belakang Rumah

Nisan di Belakang Rumah
Ridha Eka Rahayu

Saat ini, kami tengah mengalami puncak arus mudik H-2 Idul Fitri, hampir dua jam terjebak dalam kemacetan total. Jangankan mobil, motor pun sama sekali tak bisa bergerak. Terpaksa harus diam di tempat sampai perjalanan normal kembali. Kabarnya 100 meter di depan kami sedang ada perbaikan jalan yang longsor, maka kendaraan dari arah berlawanan harus bergantian jalur dengan arah yang kami lalui.


Mengisi kekosongan waktu, kami tak lepas berdzikir. Satu detik sangat berharga untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jangan sampai waktu yang Allah pinjamkan ini disia-siakan untuk melamun, jengkel, atau memikirkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya.


Tujuan mudik kami tahun ini ke Slawi. Ya! Tanah kelahiran Zul, suamiku. Dua tahun yang lalu, aku sempat berkunjung ke sana, yaitu saat kami belum dikaruniai seorang putri cantik bernama Elsa. Saat itu adalah pertama kalinya aku ke kampung suamiku. Kini kami membawa serta Elsa, mudik dengan menggunakan sepeda motor untuk yang kedua kalinya.


Kami merasa lega karena telah menunaikan kewajiban sholat lima waktu di masjid-masjid kota sebelum kemacetan terjadi. Langit terlihat begitu hitam pekat, sepertinya mendekati tengah malam. Tetesan air jatuh dari atas, apakah hujan akan turun?

Qodarullah, kami benar-benar lupa membawa jas hujan. Di sekitar sini tidak ada warung atau pedagang keliling bertebaran di tepi jalan, hanya terlihat beberapa rumah warga yang nampak kurang terawat. Jarak satu rumah dengan rumah lainnya cukup berjauhan, hanya dibatasi oleh pepohonan besar.


Aku sempat berpikir, bagaimana bisa mereka bertahan di tengah hutan seperti ini. Akses menuju kota sana teramat jauh. Letaknya sangat tidak strategis dengan tebing di belakang dan jurang di seberang rumah, belum lagi pepohonan besar mengelilingi tempat tinggal mereka. Aku rasa, aku tak ‘kan sanggup meski hanya satu detik di rumah itu.


Rintik hujan sepersekian detik disusul derasnya hujan yang langsung mengenai pakaian dan barang bawaan kami. Kulihat para pesepeda motor lainnya bergegas mengenakan jas hujannya. Aku sangat menyayangkan, perjalanan sejauh ini malah melupakan jas hujan. Aku juga tidak ingat untuk membelinya saat tadi beristirahat di kota.


Zul segera menepikan motor ke salah satu rumah warga. Entah mengapa, ia senekat itu, walaupun tujuannya masuk akal juga, yaitu berteduh dari derasnya hujan. Tak apalah, daripada kehujanan. Harapku semoga hujan cepat reda agar kami dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang.


Dari kejauhan, kulihat semua rumah warga di tempat ini memasang lampu templok, sejenis lampu minyak seperti penerangan zaman dulu. Sesekali lampu itu hampir padam tertiup angin. Setiap sudut rumahnya banyak sekali sarang hewan penghisap nektar, seperti rumah yang tidak terawat sekian puluh tahun.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas, kulihat waktu telah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Itu artinya sudah hampir tengah malam. Segera kuhubungi mertua di kampung, ternyata tempat ini tidak mendukung sinyal. Kupandangi hujan dan kemacetan jalan raya malam ini sambil menggendong Elsa yang tertidur pulas. Berharap hujan reda agar kami segera berlalu dari tempat ini.


“Kriet…” kudengar suara derit pintu yang hampir lepas engselnya sedang dibuka oleh seseorang.


Aku dan Zul menengok bersamaan. Seorang ibu paruh baya mengenakan kebaya putih dengan paduan jarik coklat membukakan pintu, terkesan seperti orang zaman dulu. Namun, tidak ada yang aneh dengan ibu ini. Biasanya aku dapat merasakan aura negatif jika bertemu dengan jin yang bertingkah seperti manusia. Pada kenyataannya tidak, sepertinya ia benar-benar manusia. Namun, aku harus tetap waspada, karena ada sebagian jin yang tidak bisa terdeteksi sebab tingkatannya.


“Ealah, Nduk, hujannya deres. Mari masuk, kasian dedeknya,” dari tutur katanya, ibu tersebut terlihat sangat ramah. Ia melebarkan pintu rumahnya mempersilakan kami masuk.


Ada keraguan besar di hati untuk menerima tawaran ibu itu, namun Zul sudah terlanjur masuk ke dalam rumah. Semudah itu? Aku tentu tidak tega jika suamiku masuk ke dalam rumah orang lain sendirian, apalagi di tempat asing seperti ini. Aku pun mengekor di belakang Zul. Ketika langkah kaki baru sampai di ambang pintu, aku dapat merasakan aura negatif yang sangat pekat.


“Silakan duduk. Saya buatkan teh hangat dulu. Pasti kalian kedinginan.” Ujar ibu pemilik rumah ini.
Kedinginan? Di luar sih dingin, tapi di rumah ini, aku merasakan hawa yang amat panas. Namun Zul merasa amat kedinginan, ia merapatkan jaket kulitnya sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada, sesekali ia menggosok kedua tangannya.


Elsa masih tertidur pulas. Aku harap ia tidak bangun dulu, khawatir melihat sesuatu yang membuatnya menangis sehingga mengganggu pemilik rumah ini.


Aku sedang tidak ingin bicara, bahkan kepada Zul. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku merasakan ruangan ini kedap suara. Derasnya hujan dan laju mesin kendaraan di luar sana, tak terdengar sama sekali, sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam tua di atas lemari hias yang nampak kuno.


Ibu paruh baya itu datang membawa nampan kayu berisikan dua gelas teh hangat, seorang gadis remaja berusia sekira belasan tahun mengekor di belakangnya. Setelah menaruh jamuan, mereka duduk di bangku rotan seberang kami yang hanya dibatasi oleh meja bambu yang separuhnya seperti bekas terbakar.


“Silakan diminum tehnya,” tawarnya kepada kami.


“Iya bu terima kasih,” jawabku. Zul hanya mengangguk sambil tersenyum.


“Oh iya perkenalkan saya Kasiyem, biasa dipanggil Mbok Iyem. Ini anak gadis semata wayang, namanya Jemasih. Panggil saja Asih”


Aku menatap Asih, wajahnya pucat seperti orang sakit. Aku ingin menanyakan keadaannya, namun sesegera mungkin kuurungkan niat ini. Sebisa mungkin aku menjaga lisan, terlebih aku sedang berada di tempat asing. Khawatir menyinggung perasaannya, apalagi mereka seorang perempuan.


“Kalian mau mudik kemana?” tanya ibu itu membuyarkan lamunanku.


“Ke Slawi Mbok,” jawab Zul yang baru saja menyeruput tehnya.


“Oalah masih jauh itu, kalian menginap di sini semalam aja, hujan masih sangat deras,”


Sungguh, aku sangat ingin menolak tawaran si mbok. Namun melihat cuaca yang tidak mendukung untuk melanjutkan perjalanan, aku segera menepis rasa egoisku demi Elsa. Lagipula Zul sudah mengiyakan tawaran Mbok Iyem. Lagi lagi semudah itu, aku jadi khawatir si Zul terkena sihir. Oh tidak, sepertinya kata sihir terlalu berlebihan.


“Lagipula di rumah ini hanya ada Mbok dan Asih saja,”


“Bapaknya Asih kemana mbok?” tanyaku. Entah kenapa tiba-tiba aku menanyakan hal itu. Aduh!


Mbok Iyem menatap putri semata wayangnya. Nampak kesedihan tergambar di raut wajah mereka.

“Mbok, maaf saya gak bermaksud….”


Ucapanku dipotong oleh Mbok Iyem, “Hehe, gapapa nduk. Bapaknya Asih merantau, kerja di perkebunan Kalimantan, sampai sekarang belum pulang, ….”


Kami mendengarkan dengan seksama, namun tiba-tiba semua terdiam, hening.


“Mbok pernah hubungi bapak lewat telepon?” tanyaku memecah keheningan.


“Semua warga di sini tidak ada yang punya, nduk.”


Aku hanya menanggapi dengan anggukan.


“Mbok pernah bertelepati dengan bapak, tapi bapak menolak. Akhirnya mbok meraga sukma untuk mencari keberadaan bapak, tapi seperti ada yang menarik paksa sukma mbok untuk kembali ke raga, setelah itu mbok sakit selama empat puluh hari,”


Mbok Iyem melanjutkan ceritanya, “Ketika sakit, mbok sering mimpi didatangi wanita cantik bertubuh ular. Dia bilang sewaktu-waktu mbok dan Asih akan jadi tumbal pesugihan.” Mbok Iyem menitikkan air mata. “Apa bapaknya Asih yang tega melakukan ini semua ya?”


“Yaa Allah, Mbok. Banyak-banyak berdoa dan selalu ingat Gusti Allah, mudah-mudahan bukan bapak pelaku pesugihan itu,” ucapku. Hati ini terenyuh mendengar cerita si mbok.


“Sudah malam, mari kita istirahat. Besok kalian harus melanjutkan perjalanan.”


Mbok Iyem berdiri dari kursi menuju sebuah ruangan di belakangnya, “Kamar kalian di sini ya, ini kamar khusus tamu, sudah banyak pemudik yang singgah ke sini. Semoga kalian tidak seperti mereka. Hihihi…”


Aku terkejut, tiba-tiba tawa Mbok Iyem melengking seperti hantu perempuan tukang ketawa itu. Hampir saja aku menginjak kaki Zul yang sudah berdiri di belakangku.


“Mbok, boleh permisi ke toilet?” tanya Zul kepada si mbok, seolah tidak merasakan adanya hal ganjil di rumah ini.


“Mari Mbok antar,”


Zul menatapku. Oh aku paham, ia minta ditemani. Dasar penakut!


Mbok Iyem menggandeng tangan Asih yang sudah berdiri dari bangku rotan tua itu. Aneh, dari awal bertemu, aku tidak mendengarnya berbicara sepatah kata pun. Ah, mungkin lagi sakit gigi bercampur demam tinggi, seusai ditinggal pacarnya pergi.


“Ini sumurnya. Airnya ditimba dulu ya nduk, karena mbok udah lama gak isi air,” tunjuk Mbok Iyem.

Kemudian mereka meninggalkan kami, berjalan menuju sebuah pintu bambu reot yang ada di dapur.

Kalau di kampungku, biasanya pintu dapur itu terhubung ke halaman belakang rumah. Kenapa kamar mereka berada dekat di dapur?


Biarkan sajalah, buat apa juga aku ambil pusing. Ini rumah mereka, mungkin biar lebih dekat kalau mau ambil makanan di dapur. Meskipun begitu, di atas kepalaku tetap dipenuhi tanda tanya.


Zul mengerek air dari dalam sumur. Kulihat ember berlumut ini tampak kosong, tak ada airnya sama sekali. Aku heran, kenapa mereka tidak menyisakan air sedikitpun di ember ini? Bagaimana bisa ember-ember ini dibiarkan kosong sampai berlumut tebal? Tanda tanya di atas kepalaku semakin banyak.


Setelah menuntaskan hajat. Kami menuju kamar yang ditunjukkan oleh Mbok Iyem. Zul membereskan tas dan barang bawaan yang tergeletak di bawah bangku rotan itu. Setelah itu, ia membaringkan badannya di atas ranjang. Biarlah, aku paham ia lelah.


Kutatap jam dinding usang di kamar ini, menunjukkan pukul 12 malam. Zul sudah tertidur pulas di samping Elsa. Tak apalah, lagipula ia harus beristirahat untuk memulihkan tenaganya agar perjalanan esok hari berjalan lancar.

Aku tetap terjaga. Mengisi malam ini dengan merapalkan wirid pagar gaib yang pernah diajarkan oleh Kyai di pesantrenku dulu.


Sesekali Elsa terbangun hanya untuk menyusu dan minum air putih, namun tetap kulanjutkan wiridku. Makin lama wiridku makin kebas telingaku, tak terdengar suara apa pun dari dalam kamar ini. Jangankan suara hujan dan kendaraan di luar, jam dinding yang detaknya cukup keras pun tak terdengar sama sekali. Aku merasa telingaku seperti disumpal ratusan cotton bud.


Setelah wirid, kulanjutkan dengan berdzikir. Kuputar tasbih kayu satu persatu, menghadap ke arah yang kuyakini adalah kiblat.


“Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbaar, Laa Haula wa laa Quwwata illaa Billaah,”


Beberapa kali mataku terpejam, namun kusemangati lagi dengan suara dzikirku.


Cahaya pagi menerobos melalui celah dinding campuran bata dan kayu rumah ini. Sepertinya adzan shubuh telah lewat, aku benar-benar larut dalam dzikir, sampai-sampai tidak mendengar adzan shubuh di tempat ini.


Biasanya, ketika dzikir setelah sholat malam di rumah, kumandang adzan shubuh mengingatkanku untuk segera menunaikan sholat dan menyudahi dzikirku. Namun di tempat ini aku tidak mendengar adzan sedikit pun, hingga matahari sudah naik pukul 6 pagi.


Dalam situasi seperti ini, tidak mengapa tetap menunaikan sholat di luar waktunya. Allah itu Maha Mengetahui kondisi hambaNya, memberikan keringanan dalam kondisi safar dan sakit. Yang tidak boleh itu, yang sengaja melalaikan sholat. Sungguh siksanya amat pedih, belum di neraka saja, sudah disiksa habis-habisan di alam kubur. A’udzubillah…


Aku segera membangunkan Zul untuk melaksanakan sholat shubuh bersamanya. Kugendong serta Elsa yang sudah terbangun. Kami keluar kamar menuju sumur untuk berwudhu.


“Zul, kamu inget gak dimana sumurnya?” tanyaku yang sudah sampai di dapur duluan.


“Di sini kan?” kata Zul sembari menunjuk sebuah lahan kosong di dalam dapur.


Aneh, aku ingat betul sumur Mbok Iyem ada di dalam dapur dekat perapian kayunya, tidak jauh dari pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang tamu. Bahkan pintu bambu reot yang semalam dimasuki Mbok Iyem dan Asih terlihat tidak berubah. Apa iya, dalam waktu semalam Mbok Iyem dan Asih merombak sumur? Haha… Lucu sekali, rasanya tidak mungkin kecuali mereka jin.


Aku mencoba mendekati pintu yang semalam dimasuki Mbok Iyem dan Asih. Kuketuk pintu itu, tak ada jawaban apapun dari dalam, hanya suara gesekan dedaunan rimbun yang tertiup angin. Dari celah pintu bambu menampakan banyak pepohonan besar yang sangat rindang di baliknya.


Aku heran, kukira pintu bambu ini adalah kamar mereka. Mau ngapain mereka semalam ke halaman belakang rumah? Lagi lagi muncul tanda tanya di kepalaku.


Saat kubuka pintu bambu itu, kulihat sebuah sumur tua yang semalam ada di dalam dapur rumah ini. Air yang semalam kutimba bersama Zul masih ada. Masa iya sumur ini bergeser? Benar-benar tidak masuk akal!


“Zul, sini deh. Kok sumurnya ada di sini?”


“Mana bisa sumur geser sendiri!” ujar Zul yang mungkin merasa semua ini tidak masuk akal.


Saat kami berjalan menuju sumur, aku melihat dua makam di balik pohon nangka yang tak jauh dari pintu belakang rumah.


“Zul, ada makam!” pekikku.


Ia langsung menoleh ke arah makam, bahkan sebelum aku tunjukkan.


Alangkah terkejutnya kami saat tak sengaja melihat masing-masing batu nisan di atas makam itu!
KASIYEM binti SUGANDA dan JEMASIH binti HAKAM


Aku dan Zul bertatapan.


“Ayo kemas barang-barang kita, udah gak beres nih tempat!” gegas Zul menarik erat tanganku menuju ambang pintu bambu reot itu.


Aku menoleh ke belakang, menengok makam itu kembali. Kulihat Mbok Iyem dan Asih berdiri mengambang di samping pohon nangka, mereka tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku.


“Semoga kalian tenang di sisiNya,” batinku. Tak terasa air mataku menganak sungai. Bersamaan dengan itu, pendengaranku normal kembali.


Mungkinkah mereka korban tumbal pesugihan suaminya?


Entah berapa banyak tanda tanya yang bermunculan di kepalaku mengenai hal-hal ganjil di rumah ini, mungkin sudah milyaran, seperti rasa sayangku kepada Zul dan Elsa. 💕


Saatnya melanjutkan perjalanan, Zul. Sholatnya di masjid kota aja!

Tinggalkan komentar