Syurga Keempat Mas Miftah

Ruang tamu berukuran 4×6 meter itu dipenuhi gelak tawa seorang gadis dewasa bernama Maisyah bersama ibu kandungnya, Alma, mereka saling bertukar cerita, lebih tepatnya saling melepas kerinduan. Sudah satu pekan Maisyah berkumpul kembali dengan orang tuanya, sejak ia telah menyelesaikan studi sarjananya pada salah satu kampus di Jakarta.


Empat tahun yang lalu, bapaknya mendapat tugas peralihan kerja dari kantor saat Maisyah sedang menjalani perkuliahan semester dua. Karena tidak ingin pindah kampus, akhirnya ia tetap tinggal di Jakarta bersama teman-teman kampusnya, sementara ibu dan bapaknya merantau ke Aceh.

“Bu Alma! Bu Alma!” suara teriakan dari luar diiringi gedoran pintu yang cukup keras mengejutkan sepasang anak dan ibu yang baru sepekan bertemu itu.

Alma berjalan ke arah pintu, Maisyah mengikuti di belakang. Beberapa tetangganya sudah berdiri di halaman rumah, wajah mereka terlihat tegang.

“Biasakan untuk mengucap salam sebelum bertamu!” ujar Alma kesal.

“Maaf bu, lain kali kami akan mengucap salam,” kata seorang tetangganya.

“Ada apa?” tanya Alma.

“Itu Pak Aji,” jawab beberapa tetangganya berbarengan.

“Kenapa suami saya?!” tegas Alma.

“Ikut kami, bu.”

Lahan luas di halaman depan Islamic Center Landom itu telah berdiri seorang wanita dan seorang lelaki yang akan menjalani hukuman. Kaki Maisyah lemas ketika melihat bapak yang sangat ia sayangi terkubur di samping seorang perempuan muda berwajah Asia Timur.

“Apa yang akan kalian lakukan terhadap suami saya!?” Alma menghampiri seorang hakim.

“Mereka telah berzina! Hukuman bagi pezina yang telah menikah adalah dirajam sampai ajalnya!”

Hati Alma dan Maisyah hancur setelah mengetahui bahwa seorang kepala rumah tangga yang sangat mereka hormati telah berkhianat sedemikian rusaknya. Mengapa sampai hati seorang yang sangat bertanggung jawab dan penuh kasih sayang itu melakukan perbuatan keji semacam ini?

“Kenapa harus dihukum seperti ini, bu? Bukankah ini termasuk pelanggaran HAM? Kenapa mereka ngga dinikahin aja? Ini hukuman yang berlebihan! Kasihan bapak!” protes Maisyah.

“Maisyah! Orang yang berzina memang harus dihukum rajam, ini adalah syariat Islam yang sesungguhnya. Bukan dengan dinikahkan!” tegas ibunya sambil memegangi tangan Maisyah agar tidak menghampiri sepasang pezina yang sedang dilempari dengan batu oleh seorang hakim dan beberapa orang saksi.

“Kamu tau Maisyah, kenapa Allah memberikan hukuman yang sangat berat dan memalukan kepada pelaku zina?”

Maisyah menggelengkan kepala.

“Zina itu dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi, dosanya pun dapat menimpa para tetangganya. Maka hukum rajam adalah hukuman yang pantas buat para pezina, agar orang yang ingin berzina memikirkan hukuman yang akan mereka dapatkan nantinya. Kalo para pezina itu dinikahkan, justru zina akan merajalela dan mengakibatkan banyak bencana!”

Hatinya campur aduk antara rasa benci dan cinta. Ia benci karena suaminya telah berkhianat, menodai kesakralan cinta mereka, namun ia kasihan melihat suaminya mengakhiri hidup dengan cara tragis. Biarlah, memang ini hukuman yang sesuai untuk para pezina. Ia terus mendoakan suaminya dan yakin setelah hukuman ini dilaksanakan, dosanya akan diampuni seperti dosa seorang wanita pezina di zaman Rasulullah dulu.

Sepanjang tiga hari setelah kematian suaminya, Alma tidak mau makan meski pun dibujuk oleh Maisyah dan para tetangganya. Begitu mendalam duka yang dialaminya. Semakin bertambah hari, tubuhnya terlihat semakin kurus. Hingga akhirnya Alma meninggal dunia sepekan setelah kepergian suaminya.

Tentu saja hal tersebut membuat Maisyah bersedih. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta, mencari pekerjaan di Kota Metropolitan itu. Namun sayang, berpendidikan tinggi tidak selalu membuat seseorang mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Bahkan sudah dua bulan, ia masih saja mencari pekerjaan sampai finalnya pemilik kontrakan mengusir Maisyah karena tidak mampu membayar pada bulan ketiga.

Akhirnya ia terpaksa singgah dari masjid ke masjid sambil mencari pekerjaan.
Tidak ada pilihan lain bagi Maisyah, ia harus menghidupi dirinya sendiri di kota orang, mencari pekerjaan berbekal ijazah sarjana yang pernah ditempuhnya.

Maisyah yang malang, sudah hampir genap tiga bulan belum ada orang yang mau mempekerjakannya. Perutnya terasa perih akibat belum terisi makanan selama dua hari. Ia menangis di pojokan masjid, mengadukan kesedihannya kepada Allah.

“Neng mau beli parfumnya?” seorang bapak tua menjajakan dagangannya.

“Ngga Pak,” ucap Maisyah pelan.

“Neng Maisyah ya?” tanya bapak itu.

Maisyah diam, ia mencoba mengingat sosok bapak yang baru saja menyebut namanya.

“Neng lupa sama bapak? Neng yang waktu kuliah sering beli parfum bapak kan?”

Tiba-tiba Maisyah teringat bahwa dulu ia berlangganan parfum nonalkohol milik H. Miftah, bapak ini adalah salah satu karyawannya. Maisyah tak bisa membendung tangisnya mengingat rentetan sejarah hidupnya yang memilukan.

“Neng kenapa?”

“Maaf Pak, apa H. Miftah lagi butuhin karyawan buat jualin parfumnya?” tanya Maisyah.

“Ada, ada. Buat siapa neng?”

“Buat saya Pak,”

“Kebetulan neng. Bapak disuruh H. Miftah buat nyari karyawan, soalnya bapak mau resign,”

“Loh, kenapa pak?”

“Alhamdulillah, anak-anak bapak udah lulus kuliah semua. Tinggal menikmati hari tua bersama mereka.”

“Alhamdulillah,” ucap Maisyah lirih, berusaha tersenyum menutupi kesedihannya.

“Yasudah, mari saya anter ke rumah H. Miftah,”

Maisyah mengangguk, beranjak dari tempat duduknya.

Rumah megah berlantai dua itu dikunjungi Maisyah bersama Pak Dul. Ia melihat halaman depan rumah yang dipenuhi dengan taman dan kolam. Beberapa orang sedang merapikan rumput dan mencuci mobil, dari penampilannya, mereka terlihat seperti asisten rumah tangga. Maisyah seperti sedang bermimpi, hingga sesampainya di gudang penyimpanan parfum, ia terkejut ketika Miftah menanyakan namanya.

“Saya Maisyah Pak, lulusan S1 Manajemen Keuangan,”

“Wah pasti pinter ngitung duit nih. Haha.” canda Miftah.

Maisyah mengira Miftah itu sudah berusia lanjut, ternyata di luar dugaan. Pada usianya yang terbilang masih muda, ia mampu menjadi pengusaha yang sukses. Namun Maisyah harus meluruskan niat awalnya, ia ke sini untuk melamar pekerjaan sebagai penjual parfum demi menyambung kehidupannya selama di Jakarta.

Hasanah, baru saja selesai mengisi pengajian ummahat di Masjid Kasyifatus Saja’. Saat akan keluar mushola, ia melihat seorang perempuan sedang merapikan dagangannya di teras masjid. Awalnya, Hasanah hanya akan menyalaminya saja. Namun setelah melihat produk yang dijualnya adalah produk parfum nonalkohol milik suaminya, seketika rasa penasaran itu hadir.

“Assalaamu’alaika, shalihah?”

Maisyah menoleh ke arah Hasanah, “Wa’alaykumussalaam, mau beli parfum umm?”

Hasanah tersenyum, “Kamu ambil stok parfum dari siapa neng?”

“Langsung dari H. Miftah, umm,”

Hasanah diam sejenak, ia terkejut karena suaminya tidak memberi tahu kalau ada karyawati baru yang menggantikan Pak Dul, “Oh, neng tinggal di mana?”

Maisyah gantian diam, ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak ingin orang lain tahu tentang dirinya. “Di dekat pusat kota umm,”

“Pusat kota sebelah mana?”

Maisyah takut untuk berbohong, meski pun Hasanah tidak mengetahui kebohongannya, namun ia sadar Allah selalu mengawasi.

“Teras toko Aqiel, umm. Maaf saya mau lanjut dagang dulu. Assalamu’alaykum,” ucap Maisyah yang bergegas meninggalkan Hasanah.

“Wa’alaykumussalaam,” balas Hasanah. Ia penasaran dengan perempuan muda itu. Dalam sekejap, hatinya merasa iba.

Waktu telah menunjukkan pukul 5 sore, Aliyah memberi salam kepada para anak yatim di Yayasan Nurunnisa. Ia sangat menyukai pekerjaan sebagai perawat anak yatim meski pun tidak dibayar. Setiap pulang dari yayasan, Aliyah menuju toko para resellernya untuk mengambil upah hasil titipan parfum milik suaminya.

“Assalamu’alayka, ustadz, tadi parfum titipanku laku berapa nih?” tanya Aliyah kepada Ustadz Hanif, pemilik toko herbal sunnah.

“Wa’alaykassalaam, alhamdulillah ada peningkatan neng,” ujar ustadz Hanif sembari menghitung uang yang akan diberikan kepada Aliyah.

“Alhamdulillah,” ucap Aliyah sambil bertepuk tangan pelan.

Perut Maisyah terasa sakit, belum ada satu pun yang membeli parfumnya hari ini. Ia duduk sambil memegangi Alqur’an kecil di depan teras toko yang masih tutup. Ia tidak tahu harus kemana dan harus bagaimana? Tak ada tempat berteduh bahkan tak ada pula tempat berbagi. Ia menahan rasa perih di perutnya sekaligus rasa perih dalam kehidupannya.

“Maaf Pak Haji, hari ini belum ada yang membeli parfum saya,”

Melihat matanya yang sayu serta wajah yang memucat, Miftah merasa iba kepada Maisyah, “Maisyah sakit?”

Maisyah menggeleng.

“Saya ambilin makan dulu ya?”

“Ngga usah Pak Haji, saya makan di rumah aja.”

“Saya anter ke rumah ya?”

“Ngga usah, saya bisa pulang sendiri.” Maisyah bergegas keluar dari gudang, ia menuju Masjid Kasyifatus Saja’ untuk tidur sejenak.

Pandangan Miftah mengikuti langkah kepergian Maisyah, terbersit rasa ingin menolong gadis malang itu.

“Mbak Aliyah belum pulang ya?” tanya Afifah kepada Hasanah yang baru saja sampai rumah.

“Lagi nagihin duit ke resellernya kali. Oh ya Fah, kamu tau ngga karyawati baru yang jualin parfum Mas Miftah?”

“Ngga tuh, tapi aku pernah liat perempuan bawa box parfum Mas Miftah sering tiduran di depan teras toko Aqiel,”

“Assalamu’alaykunn,” suara Aliyah terdengar riang dari arah pintu masuk rumah.

“Cie yang malem ini mau bermalam sama Mas Miftah, ceria banget kayaknya,” ledek Afifah.

“Aliyah, sini deh. Kamu tau ngga kapan Mas Miftah rekrut karyawan baru?” tanya Hasanah, raut wajahnya tampak serius.

“Loh, aku ngga tau mbak. Kenapa nanya gitu?”

“Sini duduk dulu,”

“Selesai ngisi kajian, mbak liat ada perempuan jualin dagangan Mas Miftah. Mbak merasakan seperti ada trauma berat dalam hidupnya. Tiba-tiba mbak merasa kasihan sama dia,” ungkap Hasanah. “Kalian tau ngga, dia tinggal dimana?” lanjutnya.

“Kurang tau mbak. Tapi aku sering liat dia duduk di teras toko Aqiel,” tebak Afifah.

“Aku juga pernah liat dia tidur di masjid Kasyif,” timpal Aliyah.

“Mbak pengen dia tinggal bareng sama kita,” ungkap Hasanah.

“Tapi kan Mas Miftah ngga ngizinin kita bawa orang lain ke rumah tanpa seizinnya,” sergah Afifah.

“Minta Mas Miftah buat nikahin dia, biar bisa tinggal bareng sama kita. Toh masih ada satu slot lagi. Haha…” canda Aliyah.

“Nah, mbak setuju.” Ujar Hasanah. “Kamu gimana Fah?”

“Aku sih setuju. Pertanyaannya, Mas Miftah mau sama Maisyah ngga?”

“Assalamu’alaykunn, istri-istriku. Udah pada pulang?” tanya Miftah ketika menghampiri ketiga istrinya.

“Wa’alaykumussallaam, Mas,” jawab ketiga istrinya bersamaan.

Suasana sore itu menjadi kaku. Mereka sama-sama ingin mengungkapkan suatu hal yang sama pentingnya.

“Mas, kita mau ngomong sesuatu, tapi mas jangan marah ya?” ujar Hasanah.

“Mas juga mau ngomong sesuatu, tapi kalian bertiga juga jangan marah,” timpal Miftah.

“Jadi siapa yang mau ngomong duluan? Mas Miftah atau Mbak Hasanah?” tanya Aliyah.

“Mas dahulukan untuk istri-istri mas tercinta,”

“Em, maaf banget ya mas. Hasanah mewakili Aliyah dan Afifah mau ngomong sesuatu yang cukup serius dan butuh pertimbangan dari mas,”

“Apa itu?”

Hasanah diam cukup lama, “Mas kok ngga bilang ke kita kalo ada karyawati baru?”

“Oh si Maisyah. Maaf ya sayangku, mas belum sempet ngasih tau. Soalnya Maisyah ini ….,” tiba-tiba hatinya berdesir menyebut nama Maisyah.

“Kenapa mas?”

“Gapapa, terus kenapa kalian nanyain Maisyah?”

“Maaf mas, Maisyah boleh ngga jadi temen kita?” ujar Hasanah sambil menunduk.

“Maksud kamu?”

Hasanah melirik ke arah, Aliyah dan Afifah.


“Mas, mau ngga nikah lagi sama Maisyah?” tanya Aliyah.

“Emangnya boleh?”

“Boleh,” jawab ketiga istrinya berbarengan.

Keesokan harinya, Maisyah kembali ke gudang penyimpanan parfum untuk membawa kembali box dagangannya. Kali ini, Hasanah sengaja menunggunya di dalam gudang, ia berniat mengajak Maisyah ke rumah untuk dipertemukan dengan suami dan dua saudari madunya.

“Aku bawa Maisyah ke sini, silakan Mas Miftah sampaikan amanah dari kami,” kata Hasanah.

Miftah diam sejenak, mencari kata-kata pembuka yang sesuai, “Maisyah sehat?”

“Alhamdulillah Pak Haji,”

“Alhamdulillah. Maisyah, jujur sama saya. Kamu tinggal dimana sekarang?”

“Di mana aja Pak Haji,”

“Loh kok dimana aja?”

“Saya ngga punya rumah, kedua orang tua saya udah meninggal enam bulan lalu,” menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Maisyah menangis mengingat peristiwa yang membuatnya trauma seumur hidup. Hasanah segera memeluknya, mencoba menyelami hati gadis malang ini.

“Keluarga atau saudara kamu yang lain dimana?” tanya Miftah lagi.

“Mereka semua tinggal di Kalimantan, saya ngga ada uang buat pulang ke sana,”

“Oh gitu. Maisyah mau ngga tinggal di sini bareng istri-istri saya?”

“Ngga bisa Pak, saya kan orang lain.”

“Kalau jadi bagian dari keluarga kami, Maisyah mau?”

“Maksud bapak?”

“Maaf ya Maisyah, apa kamu rela kalo saya jadikan kamu istri keempat?”

Maisyah tersentak, ia mengatur nafasnya yang tiba-tiba tak beraturan.

“Gimana mbak, diterima ngga?” tanya Afifah.

“Kasih saya waktu dulu buat istikharah,” timpal Maisyah.

“Boleh Syah, kami tunggu kabar baiknya,” ujar Hasanah.

Sudah dua hari Maisyah tidak kembali ke rumah H. Miftah untuk mengambil parfum dagangannya. Setelah mendapat penawaran menjadi istri keempat H. Miftah, hatinya begitu bimbang. Ia tidak tahu apakah dengan menerima permintaan H. Miftah dan para istrinya itu jalan terbaik yang Allah berikan padanya?

Maisyah khawatir tidak kuat menjalani pernikahan dengan seorang lelaki kaya beristri tiga, namun  sampai kapan dirinya harus menjalani hidup sebagai gelandangan yang selalu bertemu dengan para lelaki nakal yang selalu mengajaknya berzina.

Dalam sekejap memorinya tertuju pada hukum rajam yang pernah menimpa bapaknya, sehingga membuat ibunya sakit sampai berujung kepada kematian. Namun, ia harus kemana lagi? Ia tak mengenal siapa pun di kota ini. Bahkan keluarganya di pulau seberang, tak ada yang sanggup untuk menjemputnya.

“Yaa Allah, jika menikah dengan Haji Miftah adalah takdir terbaik yang membuatmu ridha, maka pertemukan Maisyah dengannya. Kalau bukan, jauhkan Maisyah darinya agar hati ini tidak berharap secara berlebihan kepada manusia,”

Maisyah menyudahi doanya, ia bergegas keluar dari masjid untuk menyantap makanan yang diberi oleh seorang jama’ah kajian pagi tadi.

Maisyah yang baru keluar dari masjid berpapasan dengan Miftah yang baru saja menyapu masjid peninggalan almarhum kakeknya itu. Pandangan mereka beradu, hati Maisyah berdesir seakan-akan Allah sudah memberi jawaban padanya bahwa Miftah adalah takdir terbaik untuk hidupnya.

“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri kamu?” ujar Miftah.

Maisyah diam, ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Saya berniat menikahimu bukan karena nafsu semata, tapi untuk menjaga kehormatanmu. Kalo kamu ngga rela menjadi istri keempat, saya akan kenalkan kamu dengan adik lelaki saya. Gimana Syah?”

Lidah Maisyah terasa kaku, namun ia merasa tidak sopan jika terus diam setiap ditanya. Akhirnya ia mencoba memberanikan diri untuk berbicara, “Bismillah, Maisyah rela menjadi istri keempat Mas Miftah.”

“Terima kasih Syah. Saya berbaik sangka, kamu berbicara demikian tanpa paksaan,”

“Sama sekali tanpa paksaan. Saya ikhlas Lillahi Ta’ala,”

“Alhamdulillah,”

20 Januari 2019

“Ankahtuka wa zawwajtuka Maisyah bintu Alshirazi muwakkilii bi mahri ‘isyruuna milyuun haalan,”

“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bih, wallahu waliyyut taufiq,”

“Shah,” ♥

“Ankihuu maa thoobalakum minan nisaa-i matsnaa wa tsulasaa wa rubaa’ … “ (QS. Annisaa’ (4): 3).

Tinggalkan komentar